— Satu Cerita di Sore Hari.
“Pau apa (Pau nggapain, Appa)?” Marc kecil yang sudah tampak ganteng ( — karena sudah mandi sore) saat ini tengah duduk dengan manis di teras rumah, disebelahnya ada Nanon yang dengan telaten menyuapi Marc makan. Sementara di ujung sana, Pawatnya sedang sibuk membetulkan kran air yang bermasalah sejak beberapa hari belakangan.
“Pau lagi benerin kran, tadi rusak. Terus sekarang diganti biar airnya bisa keluar lagi.”
“Marc mo ihat (mau lihat),” katanya.
“Lihat dari sini aja, makan dulu. Ini makannya belom habis tinggal dikit.”
“Marc mo ihat, Appa.”
“Iya, nanti boleh lihat kalo udah selesai makan. Oke?”
Marc menurut, menjawabnya dengan sekali anggukan lalu menerima suapan selanjutnya.
Sambil menemani Pawat meski hanya dari teras, Marc kecil yang sudah mulai banyak bicara itu mulai berceloteh riang, sesekali bertanya semua hal yang ia lihat di depan matanya pada Nanon, atau memanggil-manggil nama Paunya, menggodanya dengan semua tingkah lucunya. Celotehan riangnya itulah yang membuat rumah dan hati Pawat serta Nanon lebih hidup dan berwarna. Mochi keshil mereka kini semakin tumbuh dengan baik hari demi hari.
“Pinter banget makannya, hari ini habis. Good boy. Sekarang ini minum dulu,” Nanon berikan pada Marc botol minum kecilnya yang berisikan air putih untuk Marc minum setelah menghabiskan makannya. Marc menyedot perlahan beberapa kali sampai akhirnya bibir mungilnya melepaskan sedotannya. “Udah?”
“Dah (sudah),” jawab Marc. Lalu ia berdiri, rasanya sudah tidak sabar untuk ikut dan mendekat seakan ingin tahu apa yang Paunya lakukan sejak tadi.
“Pelan-pelan,” Nanon pegangi satu tangan Marc saat kaki kecil Marc melangkah turun satu tingkat ke halaman dari teras rumah mereka, lalu ia lepaskan genggaman tangannya, dan biarkan Marc berlari kecil ke arah Paunya. “Paw?”
“Ya?”
“Jagain.”
“Okay. Sini kak — ” Pawat ulurkan tangannya menyambut Marc dan setelah meraih mochi keshil kesayangannya itu, Pawat dekap dan bawa Marc untuk duduk dekat bersamanya.
Nanon tinggalkan mereka berdua di taman halaman depan rumah mereka sore ini, ia kembali masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan kembali pekerjaannya yang tertunda. Biarkan kini Pawatlah yang bergantian menjaga mochi keshil mereka.
“Pau apa?”
“Benerin kran air, krannya rusak minta diganti.”
“Marc ihat.” Marc berdiri dan menelisik lebih dalam, mencari tahu apa yang sedang Paunya lakukan, ia meneliti dengan semua keingintahuannya. “Ain enggak da (air nggak ada)?” tanyanya lagi.
“Ada, habis ini airnya ada. Tunggu ya.”
“Marc mo ihat!”
“Iya, nanti kalo sudah selesai, airnya keluar, kita siramin semua rumput sama tanamannya, oke?”
“Marc maw (mau).”
“Nah, ini udah bisa. Ayo kita siram-siram semuanya.”
Marc melompat girang saat air perlahan-lahan keluar dari ujung slang yang sudah disambung pada kran air. Ia senang sekali, tangan kecilnya mencoba meraih-raih ujung slang yang sama yang sudah Pawat pegang dan pakai untuk menyiram rumput di halaman rumah mereka.
“Appa!” Marc kecil berteriak riang dari tengah-tengah ruangan memanggil Nanon yang tengah sibuk dengan laptopnya ( — mengerjakan beberapa urusan pekerjaan terkait studio miliknya).
“Kak?”
Nanon melongo, terkejut melihat Marc yang sedang tersenyum senang itu tampak basah kuyub setengah badannya, sebagian rambutnya juga basah terkena air. Namun Marc malah dengan santainya melanjutkan, “Marc mayin ain (Marc main air)!”
Demi Tuhan, batin Nanon dalam hati. Baru satu jam yang lalu anak laki-laki kecilnya ini selesai mandi sore, lalu berpakaian dengan rapi dan tampan, setelah itu ia yang menyuapinya makan, sekarang? Lihatnya, setengah dari badan dan rambutnya basah, namun Marc malah tertawa dan berceloteh senangnya ia bermain air.
“Kenapa bisa basah?”
“Mayin ain!”
“Siapa yang ngajak main air?”
“Silam umput Pau, mayin ain (menyiram rumput sama Pau, sama bermain air).”
“Ya kenapa bisa basah? Kan tadi udah mandi, kok malah main air lagi?”
Nanon mencoba untuk tidak marah, tapi ia juga kesal.
“Yang, kakak — ”
Belum selesai Pawat berbicara, Nanon sudah menatapnya tajam dan sengit. “Kenapa bisa basah semua? Udah mandi loh anaknya, Paw?”
“Kesiram dikit tadi, hehe.”
“Kesiram? Kesiram apa kamu ajak main air? Ini dikit tapi kenapa basah sebadan?”
“Tadi awalnya dikit, hehe. Tadi tuh—”
“Tau ah, kamu tuh,” jawab Nanon singkat. “Mandi dua kali ini jadinya ya Tuhan.”
“Hehe.”
“Jangan haha hehe, kamu mandiin habis ini,” tambah Nanon. “Yaampun, bisa-bisanya udah mandi malah basah lagi sebadan, hmm.”
“Yaudah iya—” Pawat mengalah, bisa apa ia jika Nanon sudah tampak kesal padanya?
“Jangan yaudah iya, orang emang kamu kok yang mulai. Udah tahu anaknya udah mandi sore, malah diajakin basah-basahan lagi,” omel Nanon panjang lebar sambil membantu Marc melepas satu demi satu pakaiannya.
“Pau nati agi yah (Pau nanti lagi ya ( —nanti bisa berarti besok-besok, Marc mau lagi main air di halaman seperti tadi.))”
“Okay, jagoan.”
“Gak ada, gak boleh.”
“Mo mayin ain Appa.”
“Nggak ada main air lagi, kalau udah mandi itu nggak boleh lagi main air sampai basah gini.”
“Pau mayin ain Appa engga mayah (Pau main air Appa nggak marah).”
“Marah, ini marah soalnya Pau main airnya ngajak kakak yang udah mandi.”
“Enggak, tadi enggak mayah.”
Pawat terkekeh gemas melihat kedua semestanya berdebat.
“Nggak tahu ah, kakak mandi sama Pau sana bebersih lagi.”
“Ma Appa—”
“Sama Pau kak.”
“Sama Appa aja ya kak oke?” Ini Pawat yang berbicara.
Pandangan sengit Nanon menusuk tajam ke arah Pawat sekali lagi.
“Ma Appa—” kata Marc. Ia peluk Nanon dengan sayang untuk mengambil hatinya.
“Mandiin yang, maunya sama kamu ya kak ya?”
“Appa—”
“Iya, sama Appa kan ya kakak sukanya?”
“Dasar nyebelin banget kamu Ohm Pawat.” Nanon meninju lengan Pawat sekuat tenaga sampai pemilik lengan itu mengaduh. “Rasain.”
“Galak.”
“Siapa galak?”
“Kamu tuh.”
“Aku galak kalo ada yang nyari gara-gara doang ya, kayak kamu ini yang sukanya nyari gara-gara.”
“Nyenyenye—” Ejek Pawat.
Nanon memutar kedua bola matanya malas, ia angkat Marc untuk ia bawa kembali membersihkan diri kedua kalinya sore ini dan meninggalkan Pawat sendirian yang masih berusaha untuk tidak melepaskan tawanya. Setelah Nanon menghilang dari jangkauan pandangannya, Pawat tertawa lepas namun tetap menahan tawanya agar tidak bersuara terlalu keras.
Nanon yang marah, Nanon yang kesal karena ulahnya, selalu tampak lebih menggemaskan di mata Pawat. Nanonnya yang tidak akan pernah berubah dan hanya miliknya. Beruntunglah Pawat, bahwa Nanon itu sabar, sabar sekali untuknya.
“Lain kali kalau udah mandi nggak boleh ya main-main air lagi, kak.” Nanon menasehati Marc kecil yang kini sedang ia rawat kembali setelah membersihkan diri diatas ranjang tidurnya.
Marc asik mengotak-atik mainan kecil miliknya namun menurut saat Nanon mengelap tubuhnya, memakaikannya baju, menyisir ulang rambutnya. “Marc silam-silam ama Pau (Marc siram-siram sama Pau),” jawabnya.
“Iya, kalo siram-siram rumputnya ya rumputnya aja badannya gak usah, apalagi kakak udah mandi kan?”
“Marc syuka Appa.”
“Iya soalnya main air kan?”
“Becan (besar, airnya besar).” Marc peragakan besar yang ia maksud, ia peragakan air yang mengalir dari atas slang air saat disemprotkan jatuh membasahi rumput.
“Kamu nih gimana Appa mau marah kalo kamu gini mochi? Sekarang udah mulai bawel lagi. Hm?” Nanon cium sayang Marc sekali lagi berkali-kali.
“Beli es krim yuk yang?” Lagi-lagi suara Pawat datang tiba-tiba dari ujung pintu kamar.
“Ais klim!” Marc segera berdiri sejak mendengar suara Pawat, Paunya itu. Apalagi Pawat menyebutkan es krim, mana mungkin Marc tidak suka? Marc suka, Marc senang, Marc mau.
“Kakak mau es krim?” Tanya Pawat.
“Iyah! Ais klim!” Marc melompat girang menyambut ajakan itu. Apalagi saat Pawat mendekat ke ranjang, seketika Marc berlari menyambut peluk.
“Gak ada es krimnya kak, tokonya tutup.”
“Enggak.”
“Dibilangin tutup kok,” jawab Nanon lagi.
“Pauuuu—” Marc merengek meminta pertolongan.
“Iya, beli es krim ya? Mau yang apa? Kakak mau yang apa?”
“Paw!”
“Ayo yang, lama nih kita gak beli es krim di luar.”
“Kerjaanku banyak tau gak?”
“Yaudah, kamu dirumah aja. Kamu mau titip yang apa? Aku sama kakak keluar berdua.”
“Gak ada.”
“Ais klim Pau, iyah?”
“Iya, kakak mau kan ya?”
Marc mengangguk.
“Ais klim iyah, Appa.” Pinta Marc sekali lagi.
“Ayo Appa, ayo.”
“Hm, yaudah iya oke.”
“Yeay!” Teriak Pawat bahagia beserta Marc yang ikut berteriak juga dengan gemas. “Udah ya jangan kesel lagi ya?”
“Ini cara kamu ngajak baikan kan?”
“Tuh tahu.”
“Tahulah, udah kebaca.”
“Masih kesel nggak sekarang?”
“Ya masihlah. Dikit.”
Pawat yang tadinya berdiri bersama Marc dalam rengkuhannya, sekarang memilih untuk duduk sejajar dengan Nanon ditepi ranjang.
“Maaf ya sayang, bikin kamu kesel, bikin dua kali ngurusin mochi keshil kita. Maaf ya, ya emang aku sih yang mulai. Awalnya bawahan celana sama kaki kakak kesemprot air, dianya malah ketawa. Ya, gimana ya dia minta lagi saking senengnya, tau sendiri aku juga seneng banget liat kakak seneng, jadi yaudah deh kita malah main air, gapapa untung masih sore ya tadi—”
“Hmm.”
“Ya jangan dijawab ham hem aja yang, pokoknya maaf ya. Maaf banget.”
“Ya aku kesel aja, bisa-bisanya kamu malah bikin kakak basah sebadan-badannya, mana habis udah aku mandiin.”
“Iya, makanya maaf ya. Makanya ini ayo kita jajan es krim bertiga sama-sama.”
Nanon hanya diam, namun akhirnya menjawab, “Ya.”
“Hehehe, makasih banyak sayangku,” Pawat tarik mendekat wajah Nanon dengan wajahnya, lalu ia bubuhkan satu kecupan hangat tepat di salah satu lubang yang muncul malu-malu dari pipi Nanon.
“Ih, cium-cium! Mandi sana dulu!”
“Hehe. Satu lagi, satunya belom.”
“Gak usah, Paw—” Nanon mencoba menghindar, menjauhkan wajahnya dari tangan Pawat yang masih menjaganya lembut dibelakang. “Paw, enggak— ih aku tuh masih males— Paw, aku masih marah ya sama— PAWAT!”
Nanon berteriak pada akhirnya saat Pawat berhasil mencuri satu lagi kecup darinya. Bukan di salah satu pipinya yang merona, namun Pawat malah berhasil mencuri di tempat lain, memberinya kecup dengan lembut tepat diujung bibir merah muda Nanon yang selalu menjadi candu bagi bibir yang lain.
Pawat tertawa dan kembali mencari-cari celah mencuri cium dan kecup di tempat lain, “Paw— ih mandi sana— Pawat— udah, ih males— ” kata Nanon berusaha terus menolak lagi saat kecup itu akan kembali menghampiri.
“Pau!”
“Ha?”
“Pau enggak shium Appa!” Marc kecil bergerak berpindah pangkuan, ia segera memeluk Nanon. “Ni Appa, Pau enggak boyeh (ini Appa Marc, Pau nggak boleh)!”
Nanon menjulurkan lidahnya mengejek Pawat.
“Ih, curang!”
“Pau cana (sana).”
“Suruh mandi Pau tuh kak, bau. Hi, Pau bau ya belom mandi.”
“Pau cana, andi. Ais klim (Pau sana, mandi. Ayo beli es krim).”
Tangan kecil Marc mendorong Pawat agar menjauh sedikit, “Appa — ” Marc peluk lagi Nanon dengan banyak sayang. Nanon berikan kecupan sayang juga untuk Marc.
“Padahal ini Appanya Pau. Huft.”
“Enggak, Pau cana—”
Inilah hukum pasti milik Marc, Appa itu miliknya, Pau nggak boleh!
“Sana Paw, jadi gak ini?” Tanya Nanon sekali lagi, memastikan sekaligus menggoda Pawat. “Apa gak jadi aja?”
“Jadi-jadi, iya jadi.”
“Ya makanya mandi sana.”
“Iya—”
Dengan bermalas-malasan Pawat berdiri, meregangkan badannya ke kanan dan ke kiri, sementara Nanon memeluk gemas Marc sambil mengajaknya mengobrol.
Seusai meregangkan badannya, Pawat sedikit menundukkan badannya, mencapai posisi sejajar dengan wajah Nanon disana yang masih sibuk tersenyum karena menggoda mochi keshilnya itu. Maka, bersamaan saat Nanon menolehkan wajahnya kesamping, dengan cepat pula Pawat mencuri satu kecupan lagi tepat dibibir merah muda milik suaminya itu.
Cup!
“Ohm Pawaaaaattt!!”
“Hehehe.”
Berlarilah segera Pawat setelah berhasil mencuri kecup, ia masuk ke dalam kamar mandi dan segera menutupnya.
Dipisahkan oleh pintu kamar mandi yang tertutup,
Pawat tersenyum,
Nanon juga tersenyum,
perasaan itu masih sama seperti sebelum-sebelumnya.
Maka, kecupan yang ia curi dan kecupan yang berhasil dicuri sama-sama membuat keduanya semakin jatuh lebih dalam, jatuh diantara satu dengan yang lain.
“Appa nyum, ubang duwa (Appa tersenyum, ada lubang dua)!” Celoteh riang Marc menambah rasa bahagia itu semakin nyata adanya.